Jika selamanya tak pernah ada, aku hanya ingin berterimakasih kepada sembilan bulan waktumu yang pernah kau bagi bersamaku. Tepat enam bulan dua puluh lima hari kau lahirkan dua belas puisimu. Tanpa judul. Maka kunamai mereka satu per satu. Ucapan Selamat Malam, Pendirian demi Perjudian, Sajak Keresahan, Jarum Penunjuk Waktu, Cinta yang Salah Tempat, Belalang Sembah Jantan, Burung Krepitamofidra, Dua Puluh Enam Milikmu, Hikayat Tanpa Tanda Baca, Percakapan dengan Tuhan, Mari Berhitung, dan yang terakhir, Perempuanku.
Ada delapan "cinta", dua "kasih", dan satu "katresnan" yang menyaru dalam sebelas sajakmu. Dan ada satu nama yang gundul. Tak ada cinta, rindu atau doa di kepalanya. Sedang katamu dialah yang paling ceria, paling banyak tertawa. Aku ingat saat itu kau kirim dia demi menyapu putung-putung kesedihanku. Belakangan aku tersadar, sajak ketujuhmu inilah yang menyimpan paling banyak pilu.
Selamanya memang tak pernah ada. Maka kubingkai puisimu dalam petak-petak kecil di sela-sela otakku. Yang mungkin tak kau tahu adalah bahwa mereka bukan hanya abadi, tapi juga beranak pinak. Memenuhi isi kepalaku dengan penuh aksara "jika" dan "maaf".
Selamanya memang tak pernah ada. Maka aku hanya ingin menyampaikan ini, "Terimakasih untuk pernah menjadikanku kamu dalam puisimu."
No comments:
Post a Comment